Ini Isi Protes Spri Kepada Dewan Pers
MITRAPOL.com - Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia secara terbuka mengucapkan terima kasih kepada Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atas ‘kebaikan’ dan kerelaannya menyerahkan bukti perlakuan jelek Dewan Pers terhadap insan Pers Indonesia.
Surat Dewan Pers yang ditujukan ke sejumlah menteri, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Gubernur Lemhanas, para pimpinan BUMN/BUMD, para pejabat Humas di daerah, dan para pimpinan perusahaan di Jakarta/ Indonesia, yaitu bukti yang sangat sulit kami cari selama ini mengenai pernyataan resmi Dewan Pers atas tuduhan abal-abal kepada media dan organisasi pers. Bukti ini yang SPRI perlukan untuk mendukung pembuktian bahwa ada perbuatan melawan aturan dan kesewenangan Dewan Pers terhadap Pers Indonesia.
Dewan Pers sudah menuduh bahwa ada agresi protes atas kematian wartawan Kemajuan Rayat almarhum Muhammad Yusuf oleh sekelompok orang yang mengaku wartawan, mengatasnamakan media dan juga mengatasnamakan organisasi wartawan.
“Perlu kami jelaskan, bahwa Serikat Pers Republik Indonesia bangun semenjak tahun 1999 di Jakarta dan terdaftar resmi di Dirjen Kesbangpol Kemendagri. Dan kini mempunyai sertifikat notaries yang berbadan aturan yang dikeluarkan secara resmi oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kaprikornus agresi protes dan somasi terhadap Dewan Pers yang kami lakukan tidak mengatasnamakan organisasi pers alasannya kami memang sah secara aturan yaitu benar organisasi pers,” urai Ketua Umum DPP SPRI Hence Mandagi, dalam press release yang dikirim ke redaksi, Sabtu (28/07) di Jakarta.
Dewan Pers juga menuduh bahwa pasca berlakunya UU Pers, orang (warga masyarakat) ibarat berlomba membuat media tanpa mengurus tubuh hukum. “Rakyat yang mempunyai hak dan kedaulatan untuk berusaha di bidang pers dituduh secara membabi-buta oleh Dewan Pers, seakan-akan tidak taat aturan dan sembarangan mendirikan media tanpa tubuh hukum, padahal tuduhan tersebut seharusnya mempunyai basis data yang akurat mengenai berapa jumlah pelangaran pendirian media ibarat yang dituduhkan,”tegasnya.
DPP SPRI dengan ini juga mengingatkan kepada Dewan Pers, bahwa Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 40 tahun 1999 perihal Pers secara terperinci berbunyi : “Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers".
Kaprikornus UU ini secara terperinci dan terang benderang menjamin kepada setiap warga negara berhak mendirikan perusahaan pers dan tidak sanggup dibatasi oleh siapapun termasuk Dewan Pers.
Pasal 2 UU Pers juga disebutkan: “Kemerdekaan Pers yaitu salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum". Dan ditegaskan kembali pada Pasal 4 ayat (1) UU Pers berbunyi : “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Dengan demikian, Mandagi menandaskan, kemerdekaan pers yaitu wujud dari kedaulatan rakyat yang dijamin sebagai hak asasi manusia.
Sayangnya kedaulatan rakyat yang dijamin oleh negara melalui UU Pers sebagai hak asasi insan telah diingkari oleh pernyataan Dewan Pers alasannya hanya mengakui 2.200 media, dari 47 ribu media massa, sebagai media professional yang terverifikasi. Dan sisanya melaksanakan praktek abal-abal dan hanya sebagai alat untuk memudahkan pemerasan terhadap orang, pejabat, pemerintah darah, maupun perusahaan. Dewan pers bahkan mengkalim dalam suratnya bahwa penyalahgunaan media maupun profesi wartawan oleh kelompok abal-abal yang kian marak sehingga melahirkan Nota Kesepahaman dengan Polri. Pada dasarnya, Dewan Pers menyatakan, pidana sanggup dikenakan jika memang ada niat jelek dalam pemberitaan dan alasan lainnya. Bahkan jerat pdana dalam UU ITE pun sanggup dikenakan dalam konteks pemberitaan alasannya yang menulis dianggap bukan wartawan.
“Ini menerangkan Dewan Pers telah melecehkan kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia,” tegasnya lagi.
Dalam suratnya juga, diterangkan, Dewan Pers mengkalim ada 12.000 wartawan yang sudah ikut uji kompetensi melalui 27 forum penguji yang terdiri dari sejumlah akademi tinggi, forum pendidikan, perusahaan pers PWI, PWI, AJI, dan IJTI.
Menurut Mandagi, dari total 12.000 wartawan yang sudah mengikuti Iji Kompetensi Wartawan tersebut umumnya dikenakan biaya sebesar 1,5 juta rupiah sampai 3,5 juta rupiah per orang. Bisa dihitung ada berapa besar dana yang berhasil diraup dari wartawan dalam acara UKW tersebut. “Ini terperinci ada acara ekonomi dalam pelaksanaan UKW namun tidak ada setoran resmi ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak. Padahal milyaran rupiah mengalir dari acara UKW ini. Makanya, abdnegara aturan wajib menyidik dugaan pelanggaran yang dilakukan Dewan Pers terait acara ekonomi dalam praktek UKW tersebut,” urai Mandagi.
Disamping itu, lanjut Mandagi, 27 Lembaga Sertifikasi Profesi atau forum penguji kompetensi yang disebut Dewan Pers yaitu murni perbuatan melawan hukum. Sebab, menurutnya, forum yang paling berkompeten melaksanakan sertifikasi profesi yaitu LSP yang diberi lisensi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan bukanya oleh Dewan Pers yang bentuknya berupa Surat Keputusan.
Undang-Undang yang dilanggar dalam pelaksanaan UKW dengan LSP versi Dewan Pers yaitu undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan. Sangat terperinci disebutkan pada Pasal 18 Ayat (4): “Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibuat Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang independen.” Kegiatan UKW di atas juga melanggar Pasal 1 ayat (1) dan (2), dan Pasal 3, serta Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah perihal BNSP. Kaprikornus sangat terperinci di sini bahwa Lembaga yang berwenang mengeluarkan lisensi bagi Lembaga Uji Kompetensi atau Lembaga Sertifikasi Profesi yaitu BNSP bukannya Dewan Pers. “Ke 27 LSP yang ditunjuk Dewan Pers niscaya illegal alasannya tidak mempunyai dasar aturan dan bertentangan dengan Undang-Undang,” pungkasnya.
Lebih jauh dari dilema di atas, Mandagi menambahkan, pernyataan Dewan Pers lewat suratnya tersebut berpotensi menghilangkan kesempatan dan lapangan pekerjaan bagi ratusan ribu wartawan yang bekerja di 43 ribu media yang ditutup aksesnya oleh Dewan Pers ke seluruh jajaran pemerintahan di sentra maupun di tempat termasuk ke perusahaan di seluruh Indonesia. Padahal pemerintah kini tengah gencar berupaya membuat lapagan pekerjaan namun Dewan Pers justeru sibuk memberangus perusahaan media.
Akses ekonomi yang ditutup oleh Dewan Pers terhadap perusahaan pers melalui surat edarannya tersebut akan berdampak jelek bagi puluhan ribu perusahaan pers tersebut dan sanggup membuat ratusan ribu pengangguran baru.
Padahal, secara hukum, setiap warga mempunyai hak untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2).
Kemudian dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 perihal Hak Asasi Manusia, juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Selain itu, dalam Pasal 11 UU Nomor 39 Tahun 1999 perihal HAM, menyebutkan setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Oleh alasannya itu, untuk mewujudkan atau meningkatkan taraf kehidupan yang layak bagi setiap warga Indonesia, pemerintah wajib membuat lapangan pekerjaan untuk seluruh warga Indonesia.
Ini sesuai dengan kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak-hak warga Indonesia, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 perihal HAM yang menyatakan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi insan yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan aturan internasional perihal hak asasi insan yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
“Dengan demikian Presiden Jokowi harus turun tangan mengatasi masalah bahaya kemerdekaan pers dan kesejahteraan wartawan tersebut. Presiden dihentikan tutup mata atas dilema pers yang terjadi dikala ini,” pungkasnya.
Hal terakhir yang akan dilakukan SPRI, berdasarkan Mandagi, pihaknya akan melaporkan Dewan Pers ke polisi terkait dugaan pidana pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Selain itu penggunaan dana pemeliharaan gedung dewan pers dan operasional penunjang kinerja Dewan Pers akan kita laporkan ke abdnegara aturan alasannya diduga berpengaruh telah terjadi penyimpangan, termasuk biaya sewa kantor gedung Dewan Pers yang tidak terperinci pengelolaannya.
Reporter : ef
![]() |
Ketua Umum DPP SPRI Hence Mandagi (foto : radarindonesianews.com). |
Surat Dewan Pers yang ditujukan ke sejumlah menteri, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Gubernur Lemhanas, para pimpinan BUMN/BUMD, para pejabat Humas di daerah, dan para pimpinan perusahaan di Jakarta/ Indonesia, yaitu bukti yang sangat sulit kami cari selama ini mengenai pernyataan resmi Dewan Pers atas tuduhan abal-abal kepada media dan organisasi pers. Bukti ini yang SPRI perlukan untuk mendukung pembuktian bahwa ada perbuatan melawan aturan dan kesewenangan Dewan Pers terhadap Pers Indonesia.
Dewan Pers sudah menuduh bahwa ada agresi protes atas kematian wartawan Kemajuan Rayat almarhum Muhammad Yusuf oleh sekelompok orang yang mengaku wartawan, mengatasnamakan media dan juga mengatasnamakan organisasi wartawan.
“Perlu kami jelaskan, bahwa Serikat Pers Republik Indonesia bangun semenjak tahun 1999 di Jakarta dan terdaftar resmi di Dirjen Kesbangpol Kemendagri. Dan kini mempunyai sertifikat notaries yang berbadan aturan yang dikeluarkan secara resmi oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kaprikornus agresi protes dan somasi terhadap Dewan Pers yang kami lakukan tidak mengatasnamakan organisasi pers alasannya kami memang sah secara aturan yaitu benar organisasi pers,” urai Ketua Umum DPP SPRI Hence Mandagi, dalam press release yang dikirim ke redaksi, Sabtu (28/07) di Jakarta.
Dewan Pers juga menuduh bahwa pasca berlakunya UU Pers, orang (warga masyarakat) ibarat berlomba membuat media tanpa mengurus tubuh hukum. “Rakyat yang mempunyai hak dan kedaulatan untuk berusaha di bidang pers dituduh secara membabi-buta oleh Dewan Pers, seakan-akan tidak taat aturan dan sembarangan mendirikan media tanpa tubuh hukum, padahal tuduhan tersebut seharusnya mempunyai basis data yang akurat mengenai berapa jumlah pelangaran pendirian media ibarat yang dituduhkan,”tegasnya.
DPP SPRI dengan ini juga mengingatkan kepada Dewan Pers, bahwa Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 40 tahun 1999 perihal Pers secara terperinci berbunyi : “Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers".
Kaprikornus UU ini secara terperinci dan terang benderang menjamin kepada setiap warga negara berhak mendirikan perusahaan pers dan tidak sanggup dibatasi oleh siapapun termasuk Dewan Pers.
Pasal 2 UU Pers juga disebutkan: “Kemerdekaan Pers yaitu salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum". Dan ditegaskan kembali pada Pasal 4 ayat (1) UU Pers berbunyi : “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Dengan demikian, Mandagi menandaskan, kemerdekaan pers yaitu wujud dari kedaulatan rakyat yang dijamin sebagai hak asasi manusia.
Sayangnya kedaulatan rakyat yang dijamin oleh negara melalui UU Pers sebagai hak asasi insan telah diingkari oleh pernyataan Dewan Pers alasannya hanya mengakui 2.200 media, dari 47 ribu media massa, sebagai media professional yang terverifikasi. Dan sisanya melaksanakan praktek abal-abal dan hanya sebagai alat untuk memudahkan pemerasan terhadap orang, pejabat, pemerintah darah, maupun perusahaan. Dewan pers bahkan mengkalim dalam suratnya bahwa penyalahgunaan media maupun profesi wartawan oleh kelompok abal-abal yang kian marak sehingga melahirkan Nota Kesepahaman dengan Polri. Pada dasarnya, Dewan Pers menyatakan, pidana sanggup dikenakan jika memang ada niat jelek dalam pemberitaan dan alasan lainnya. Bahkan jerat pdana dalam UU ITE pun sanggup dikenakan dalam konteks pemberitaan alasannya yang menulis dianggap bukan wartawan.
“Ini menerangkan Dewan Pers telah melecehkan kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia,” tegasnya lagi.
Dalam suratnya juga, diterangkan, Dewan Pers mengkalim ada 12.000 wartawan yang sudah ikut uji kompetensi melalui 27 forum penguji yang terdiri dari sejumlah akademi tinggi, forum pendidikan, perusahaan pers PWI, PWI, AJI, dan IJTI.
Menurut Mandagi, dari total 12.000 wartawan yang sudah mengikuti Iji Kompetensi Wartawan tersebut umumnya dikenakan biaya sebesar 1,5 juta rupiah sampai 3,5 juta rupiah per orang. Bisa dihitung ada berapa besar dana yang berhasil diraup dari wartawan dalam acara UKW tersebut. “Ini terperinci ada acara ekonomi dalam pelaksanaan UKW namun tidak ada setoran resmi ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak. Padahal milyaran rupiah mengalir dari acara UKW ini. Makanya, abdnegara aturan wajib menyidik dugaan pelanggaran yang dilakukan Dewan Pers terait acara ekonomi dalam praktek UKW tersebut,” urai Mandagi.
Disamping itu, lanjut Mandagi, 27 Lembaga Sertifikasi Profesi atau forum penguji kompetensi yang disebut Dewan Pers yaitu murni perbuatan melawan hukum. Sebab, menurutnya, forum yang paling berkompeten melaksanakan sertifikasi profesi yaitu LSP yang diberi lisensi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan bukanya oleh Dewan Pers yang bentuknya berupa Surat Keputusan.
Undang-Undang yang dilanggar dalam pelaksanaan UKW dengan LSP versi Dewan Pers yaitu undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan. Sangat terperinci disebutkan pada Pasal 18 Ayat (4): “Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibuat Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang independen.” Kegiatan UKW di atas juga melanggar Pasal 1 ayat (1) dan (2), dan Pasal 3, serta Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah perihal BNSP. Kaprikornus sangat terperinci di sini bahwa Lembaga yang berwenang mengeluarkan lisensi bagi Lembaga Uji Kompetensi atau Lembaga Sertifikasi Profesi yaitu BNSP bukannya Dewan Pers. “Ke 27 LSP yang ditunjuk Dewan Pers niscaya illegal alasannya tidak mempunyai dasar aturan dan bertentangan dengan Undang-Undang,” pungkasnya.
Lebih jauh dari dilema di atas, Mandagi menambahkan, pernyataan Dewan Pers lewat suratnya tersebut berpotensi menghilangkan kesempatan dan lapangan pekerjaan bagi ratusan ribu wartawan yang bekerja di 43 ribu media yang ditutup aksesnya oleh Dewan Pers ke seluruh jajaran pemerintahan di sentra maupun di tempat termasuk ke perusahaan di seluruh Indonesia. Padahal pemerintah kini tengah gencar berupaya membuat lapagan pekerjaan namun Dewan Pers justeru sibuk memberangus perusahaan media.
Akses ekonomi yang ditutup oleh Dewan Pers terhadap perusahaan pers melalui surat edarannya tersebut akan berdampak jelek bagi puluhan ribu perusahaan pers tersebut dan sanggup membuat ratusan ribu pengangguran baru.
Padahal, secara hukum, setiap warga mempunyai hak untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2).
Kemudian dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 perihal Hak Asasi Manusia, juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Selain itu, dalam Pasal 11 UU Nomor 39 Tahun 1999 perihal HAM, menyebutkan setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Oleh alasannya itu, untuk mewujudkan atau meningkatkan taraf kehidupan yang layak bagi setiap warga Indonesia, pemerintah wajib membuat lapangan pekerjaan untuk seluruh warga Indonesia.
Ini sesuai dengan kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak-hak warga Indonesia, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 perihal HAM yang menyatakan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi insan yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan aturan internasional perihal hak asasi insan yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
“Dengan demikian Presiden Jokowi harus turun tangan mengatasi masalah bahaya kemerdekaan pers dan kesejahteraan wartawan tersebut. Presiden dihentikan tutup mata atas dilema pers yang terjadi dikala ini,” pungkasnya.
Hal terakhir yang akan dilakukan SPRI, berdasarkan Mandagi, pihaknya akan melaporkan Dewan Pers ke polisi terkait dugaan pidana pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Selain itu penggunaan dana pemeliharaan gedung dewan pers dan operasional penunjang kinerja Dewan Pers akan kita laporkan ke abdnegara aturan alasannya diduga berpengaruh telah terjadi penyimpangan, termasuk biaya sewa kantor gedung Dewan Pers yang tidak terperinci pengelolaannya.
Reporter : ef
Komentar
Posting Komentar